Mempawah-Pontianak-Kalimantan Barat
|
![]() |
|||||||||
PERILAKU KEBERAGAMAAN WARIA
DI KOTA PONTIANAK
A. Latar Belakang Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah yang akan membawa dampak negatif. Masalah sosial tersebut terjadi karena adanya penyimpangan terhadap konsep masyarakat ideal. Masyarakat ideal adalah masyarakat yang terbaik yang dicita-citakan, sehingga konsep masalah sosial itu tergantung pada konsep tentang masyarakat sempurna atau masyarakat yang disempurnakan. Konsep masyarakat ideal dipengaruhi oleh kondisi masyarakat pada saat hidupnya, oleh karena itu masalah sosial dapat ditentukan oleh kebudayaan (Vembriarto, 1994 : 29). Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering memandang hal-hal yang di luar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat (Horton, 1999:191). Norma diciptakan dan menjadi pedoman bagi masyarakat melalui proses kesepakatan sosial yang merujuk pada tuntunan agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan meskipun sesungguhnya norma-norma tersebut mengalami pergeseran dan pada perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk penyimpangan perilaku sosial dianggap sebagai suatu kewajaran. Serangkaian norma-norma penting, yang tidak dinyatakan dalam pepatah-pepatah dan tidak disadari serta dianggap biasa merupakan aturan yang prosedural untuk mengatur kehidupan sosial sehari-hari dan pihak-pihak yang tidak mengikuti aturan yang prosedural akan terkena bermacam-macam sanksi sosial (Berry, 2003 : 62). Munculnya waria sebagai fenomena sosial transsexual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada umumnya, Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan, yaitu pasangan manusia adalah laki-laki dan perempuan (Q.S Al. Hujurat : 13). Pelaku transsexual di Indonesia disebut dengan istilah waria (wanita-pria), wadam (wanita-adam), banci atau bencong. Namun, kehadiran mereka sebagai kelompok ketiga dalam struktur kehidupan manusia tentunya menjadi “tidak diakui”. Karena, secara eksplisit Al-Qur’an tidak pernah menyebut jenis kelamin di luar pria dan wanita. Norma kebudayaan hanya mengakui dua jenis kelamin secara obyektif yaitu pria dan wanita. Jenis kelamin itu sendiri mengacu kepada keadaan fisik alat reproduksi manusia. Kelly (Koeswinarno, 2005 : 15) berpendapat bahwa mengenai jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus berperilaku sebagai pria (berperilaku maskulin) dan wanita harus berperilaku sebagai wanita (berperilaku feminin). Pandangan psikologi mengatakan bahwa transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasaan seksual (Supratiknya, 1995 : 391). Di lain pihak, pandangan sosial beranggapan bahwa akibat dari penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya (Koeswinarno, 2004 : 151). Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara yang tepat untuk mencegahnya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu pengertian waria (transsexual) berbeda dengan homoseksual (perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis) atau transvestisme (suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya). Walaupun hal tersebut juga merupakan bagian dari suatu kelainan seksual. Seorang transsexual khususnya seorang waria hanya akan bahagia apabila diperlakukan sebagai seorang wanita. Waria dewasa ini sudah bukan hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Pontianak. Pada siang hari, mereka dapat ditemukan di salon-salon kecantikan tempat di mana mereka bekerja. Pada umumnya sebagian dari mereka masih bekerja dengan menggunakan pakaian layaknya pria karena mereka belum mempunyai keberanian menyatakan diri sebagai waria dengan menggunakan rok. Hal ini disebabkan karena menurut mereka, masyarakat di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh norma-norma sopan santun yang berlaku serta mereka tidak ingin masyarakat mencemooh dan memandang hina diri mereka secara terang-terangan. Biasanya mereka berani berdandan dan memakai rok layaknya seorang wanita apabila mereka telah berkumpul bersama dengan teman-teman senasib pada malam hari. Mereka akan mencari teman atau populasi yang keadaannya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh, sebagaimana layaknya individu yang normal (Nadia, 2005: 46). Selanjutnya timbul masalah lain, yaitu pemenuhan kehidupan sehari-hari, sementara tidak semua waria memiliki bakat dan keterampilan yang memadai untuk bertahan hidup (Nadia, 2005: 48). Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi waria. Di satu sisi, masyarakat tidak membuka kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria. Namun, di sisi lain seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, pandangan masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi. Ironisnya, pada saat yang lain diam-diam masyarakat juga berminat pada jasa pelayanan waria. Di Pontianak, keadaan ini dapat ditemukan dengan mudah di jalan jendral Urip atau di kawasan taman alun-alun kapuas. Dunia pelacuran bagi waria merupakan bagian dari kebudayaan tersendiri. Ini bisa dilihat bagaimana dalam dunia pelacuran kaum waria dapat mengembangkan satu model komunikasi dengan bahasa-bahasa yang sangat khas. Dunia pelacuran dalam kehidupan waria bukan hanya berperan untuk memenuhi kepentingan ekonomi semata, akan tetapi juga merupakan media yang sangat berperan dalam menegaskan jati diri untuk tampil menjadi waria. Karena itulah, dalam lingkungan pelacuran kehadiran waria diterima dalam dunia yang utuh selain juga sebagai media sosialisasi, membangun solidaritas sosial waria dan untuk membangun diri. Kehidupan waria memiliki keunikan tersendiri, walaupun seorang waria telah mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan baik dalam berperilaku maupun dalam berpenampilan namun tanpa disadari seorang waria masih dapat berperan sebagai laki-laki yang bersikap maskulin. Hal inilah yang membedakan seorang waria dengan laki-laki dan perempuan normal sehingga dapat mempengaruhi perilaku. Perilaku bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam berinteraksi setiap individu akan menerima tanggapan-tanggapan yang diberikan dan dijadikan cermin bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri (Pudjijogyanti, 1985 : ![]() B. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian Dalam sebuah penelitian diperlukan batasan hal apa yang akan diteliti dalam sebuah penelitian agar tidak mengaburkan fokus penelitian yang akan diteliti. Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah mengenai Perilaku keagamaan dan kegiatan keagamaan kaum waria. 1. Penegasan Istilah a. Perilaku adalah respon individu atau kelompok terhadap lingkungan (KBBI: 1989). Dalam kacamata ilmu sosial, perilaku atau perbuatan manusia merupakan manifestasi terhadap pola-pola hubungan, dinamika, perubahan dan interaksi yang menitikberatkan pada masyarakat dan kelompok sosial sebagai satu kesatuan, serta melihat individu sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerap-kan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut. (http://antoniusfelix-shared.blogspot.com/2008/10/definisi-persepsi. Sedangkan perilaku agama yaitu segala tindakan merefleksikan pemahaman agama, ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga sesorang selalu berperilaku baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan, integrasi nasional (http://wikan2004.multiply.com/ jurnal/item/1/ Ringkasan_Antropologi) b. Kaum waria (transsexual) adalah individu yang memiliki gangguan kelainan dimana penderita merasa tidak nyaman dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya sehingga penderita ingin mengganti kelaminnya (dari laki-laki menjadi wanita) dan cenderung berpenampilan menyerupai wanita (Dewi Muthi`ah, 2007: 10) 2. Lokasi Subyek penelitian berstatus sebagai waria, maka penelitiannya akan dilaksanakan di rumah dan salon, serta tempat diselenggarakan kegiatan keagamaan kaum waria. Ruang lingkup penelitian ini bermaksud untuk membatasi dan memperjelas batasan-batasan penelitian dan juga untuk menghindari terjadinya penafsiran berbeda yang mungkin hadir kerena pemikiran yang berbeda. Oleh karena itu, dalam ruang lingkup penelitian ini akan difokuskan pada perilaku keagamaan Waria di kota Pontianak, dengan dibagi dalam dua ruanglingkup penelitian yaitu : 1. Pengamalan agama para Waria di Kota Pontianak 2. Kegiatan keagamaan Waria di Kota Pontianak yang meliputi : a. Pengajian Rutin b. Aktifitas sosial keagamaan C. Rumusan Masalah Masalah penelitian ini secara general adalah bagaimana perilaku keagamaan Waria di kota Pontianak. Masalah yang masih umum tersebut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu : 1. Bagaimanakah pengamalan agama para Waria di kota Pontianak ? 2. Bagaimanakah kegiatan keagamaan Waria di kota Pontianak ? D. Tujuan Penelitian Setelah melihat masalah penelitian yang dirumuskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikan perilaku keagamaan para Waria di kota Pontianak 2. Untuk mengetahui secara jelas kegiatan keagamaan dan sosial keagamaan waria di kota Pontianak terutama pengajian rutin dan kegiatan sosial keagamaannya. E. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Mendapatkan penjelasan dan gambaran tentang perilaku keagamaan waria. b. Dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan sosial khususnya Sosiologi Agama. c. Dapat menjadi refleksi sehingga dapat dipakai sebagai referensi untuk mengetahui perilaku keagamaan kaum waria. 2. Manfaat Praktis a. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan waria. b. Bagi kaum waria pada khususnya, untuk dapat menjadikan hidupnya lebih baik lagi dimasa yang akan datang. c. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan. F. Tinjauan Pustaka Kajian tentang Waria (transsexual) sampai saat ini sangat banyak sekali, Bastaman dkk (2004 : 168) mengatakan bahwa transsexual yaitu: Keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya, dan menginginkan untuk membedah jenis kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Kartono (1989 : 226) mengatakan bahwa transsexual ialah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Koeswinarno (2005 : 12) mengatakan bahwa seorang transseksual secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelamin yang lain. Sue (1986 : 338) mengatakan bahwa transsexual yaitu seseorang yang merasa memiliki kelamin yang berlawanan dimana terdapat pertentangan antara identitas jenis kelamin dan jenis kelamin biologisnya. Crooks (1983 : 36) menjelaskan bahwa transsexual adalah seseorang yang mempunyai identitas jenis kelamin sendiri yang berlawanan dengan jenis kelamin biologisnya. Transsexual biasanya cenderung menunjukkan perselisihan dengan peran jenis kelamin di usia muda. Laki-laki yang memperlihatkan minat dan sifat-sifat yang dianggap feminin dan mereka seringkali di sebut “banci” oleh teman-teman sebaya mereka. Seseorang yang cenderung menjadi transsexual biasanya lebih suka bermain dengan perempuan dan menghindari kegiatan yang kasar dan kacau. Supratiknya (1995 : 96) mendefinisikan transsexual sebagai gangguan kelainan dimana penderita merasa bahwa dirinya terperangkap di dalam tubuh lawan jenisnya. Sedangkan Puspitosari (2005 : 10) mendefinisikan transsexual sebagai seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara psikis cenderung berpenampilan wanita. Danandjaja (Puspitosari, 2005 : 11) menyatakan bahwa transsexual adalah kaum homo yang mengubah bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan lawan jenis. Jika yang jantan mengubah dadanya dengan operasi plastik atau menyuntikkan diri dengan hormon seks, dan membuang penis serta testisnya dan membentuk lubang vagina. Dari beberapa pendapat diatas mengenai waria (transsexual), maka dapat disimpulkan bahwa transsexual merupakan suatu kelainan dimana penderita merasa tidak nyaman dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya sehingga penderita ingin mengganti kelaminnya (dari laki-laki menjadi wanita) dan cenderung berpenampilan menyerupai wanita. Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan waria mulai muncul. Mungkin kaum waria belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Budaya waria sendiri tidak lahir begitu saja akibat modernisasi dimana banyak mengakibatkan kelainan-kelainan seksual, seperti homoseks yang dianggap sebagai modernisasi dan sebagainya. Al-Qur’an menyebutkan adanya kaum nabi Luth yang disebut ”Liwath” yang artinya ”senggama melalui dubur” (Puspitosari dan Pujileksono, 2005 : 17). Sejarah bangsa Yunani tercacat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury (Nadia, 2005 : 51). Dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia pada umumnya berpakaian perempuan. Mereka biasanya memiliki kesaktian dan ditakuti orang. Dukun-dukun semacam ini dapat juga dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona, kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal dengan xanith. Konon, xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari-hari. Menurut sejarah, di Oman pelacuran perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, xanith kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai xanith mengandung dua fungsi yaitu sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transsexual atau sekedar gejala transvestet. Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman, Turco-Mongol, atau tempat-tempat lain (Nadia, 2005 : 53). Meskipun demikian, kita dapat menemukannya, misalnya pada masyarakat Ponorogo Jawa Timur yang berkecimpung dalam dunia seni Warok. Para Warok di daerah ini terkenal sangat sakti yang menjadikan mereka kebal terhadap senjata tajam. Agar dapat menjalankan ilmunya dengan sempurna maka ada berbagai pengorbanan dan persyaratan yang harus dijalaninya. Setiap Warok Ponorogo dapat dipastikan memiliki gemblakan (laki-laki usia 9-17) yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah hingga memberikan kebutuhan seksual kepada sang Warok. Kebutuhan seksual ini membuat para warok selalu memilih gemblakan laki-laki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus. Hal tersebut dilakukan karena adanya larangan untuk menggauli perempuan sebelum ilmu yang dipelajari dapat dikuasai, dan setelah ilmu mereka mencapai tingkat kematangan mereka pun diperbolehkan berhubungan seks dengan perempuan yang dinikahinya. Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat menjerumuskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria karena warok seringkali memperlakukan gemblak-nya sebagai seorang perempuan baik dalam perilaku, berpakaian dan dandanannya. Kaum waria pada zaman kerajaan Jawa terdahulu termasuk dalam kelompok yang justru memiliki daya tarik tersendiri karena kelainan yang dideritanya, sehingga mereka tidak disingkirkan namun menjadi sebuah momentum dunia kegaiban. Kesenian gandrung (Banyuwangi) ditarikan oleh bocah laki-laki berusia 10-12 tahun yang berpakaian perempuan. Di Kalimantan, Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara (medium-priest) yang mengenakan pakaian lawan jenis. Basir adalah seorang laki-laki, namun dalam segala hal dia berperilaku sebagai perempuan. Di Sulawesi suku Makasar pun terdapat fenomena serupa yaitu Bisu (laki-laki yang diberi tugas menjaga pusaka). Dan seorang Bisu diharapkan mengenakan pakaian perempuan, dilarang berkomunikasi dan dilarang berhubungan badan dengan perempuan. Hal ini dilakukan demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Dengan demikian jelas bahwa waria bukanlah sebuah produk modernisasi. Budaya waria barangkali sama panjangnya dengan sejarah dan keberadaan kaum homoseksual. Menurut Maslim (2003 : 111), ciri-ciri transsexual adalah : a. Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom. b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya. c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis menurut Tjahjono (1995 : 98), yaitu : a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu. b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya. c. Minat-minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya. d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya. e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak di lingkungannya. f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya. Dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri transsexual adalah: (1) individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinue minimal dua tahun, (2) memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari lawan jenisnya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk berpakaian dan berperilaku menyerupai lawan jenis kelaminnya. Dalam ajaran Islam Waria (transsexual) difahami ada dua jenis waria sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Kelamin ganda disebut khuntsa dan transeksualis / bencong disebut mukhannats. Jika bercermin pada sunnah Rasul, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menghinakan harkat derajat kaum waria, baik yang khuntsa maupun yang mukhannats. Selain itu banyak literatur hadis menyiratkan berbagai metode upaya normalisasi kaum waria. Dari hadist-hadist itu tersirat pula sebuah makna, bahwa kasus ke-waria-an yang tidak lain adalah ambiguitas identitas gender merupakan masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula. Ada dua solusi mendasar dari penanganan kasus waria; pertama, untuk kasus hermaproditif, penentuan status gender adalah berdasarkan kecenderungan paling dominan (baik fisik maupun psikis) dari waria bersangkutan. Berdasarkan hadits Nabi; “Dikabarkan oleh ‘Ubaidillah bin Musa dari Israil dai ‘Abd Al-A’la bahwa dia mendengar Muhammad bin Ali bercerita kepada ‘Ali bahwa tentang seorang leki-laki yang mempunyai kelamin perempuan tentang bagaimana ia mendapat warisan, maka ia berkata “Melihat dari mana ia kencing” (H.R. Al-Darimy). Pilihan berdasarkan kecenderungan dominan ini harus diiringi pula berdasarkan pilihan waria bersangkutan dengan kesadaran penuh dirinya sendiri. Dewasa ini sains dan teknologi kedokteran sudah amat maju sehingga dengannya aplikasi hukum bisa terselesaikan dengan lebih matang dan perfect. Apabila seorang hermaprodit (yang akil baligh) sudah menentukan pilihan hidup menjadi seorang wanita dan didukung bukti yang kuat secara ilmiah tadi, misalnya hormon kewanitaannya lebih banyak dibanding hormon prianya, maka sah-lah ia menjadi wanita seutuhnya. Tatacara beragamanya pun selanjutnya mengikuti aturan syariah untuk perempuan. (http://alrasikh.wordpress.com/category/lembar-jumat/) Kedua, adalah transeksualitas atau mukhannats. Apa yang menyebabkan seseorang menjadi waria? Menurut Guru besar psikologi UGM Prof Dr Koentjoro, bisa diakibatkan bila peran ibu dalam mengasuh anaknya lebih besar dan memperlakukan anak laki-laki layaknya perempuan. Mungkin dalam kehidupan keluarga mayoritas perempuan sehingga jiwa yang terbentuk adalah jiwa perempuan (jawapos.com, 08/06/2005). Dalam menangani kasus transeksualitas, hadist Nabi berikut bisa menjadi rujukan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Khurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bertemu dengan seorang mukhannats yang telah dicelupkan kedua tangan dan kedua kakinya, kemudian orang yang mencelupkan mukhannats itu berkata: ”Hai Rasulullah, sesungguhnya orang ini telah menyerupai perempuan (bertingkah laku sebagaimana perempuan).” Nabi mengusirnya ke kota Naqi’ kemudian seorang itu bertanya; “ya Rasulullah, bolehkah saya membunuhnya?” Lalu Rasulullah pun menjawab: ”Sesungguhnya aku melarang untuk membunuh orang-orang yang shalat.” (H.R. Abu Dawud). Dalam hubungannya dengan penelitian ini yang akan melihat perilaku agama kaum waria, beberapa kajian tentang agama yaitu dari sisi etimologi berasal dari bahasa Yunani ”a” yang berarti tidak dan ”gama” yang bermakna kacau balau, carut marut, tak teratur. Sehingga agama ialah suatu tatanan yang berfungsi memberikan keteraturan. Sementara dari sisi terminologi, menurut Hendropuspito (1983) dalam bukunya Sosiologi Agama, menerangkan bahwa Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Sehingga unsur-unsur Agama memuat: a. Agama disebut jenis sistem sosial. Menjelaskan bahwa agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris . hal ini menyatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-”huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi. c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di ”dunia lain” yang dimasuki manusia setelah kematian. Thomas F.O Dea mendefinisikan agama sebagai pendayagunaan sarana-sarana supra empiris untukmaksud-maksud non empiris atau supra empiris. Sementara itu, J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan Dunlop melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolongh manusia bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya. Sedangkan aspek agama menurut Joachim Wach ada tiga, yakni: pertama unsur teoritisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur praktisnya ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologisnya bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. (Hendropuspito, 1983: 34-35) Sementara itu Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan definisinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetrahuan dan membentuk sikap kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya. Sedangkan Ayat 2 Pendidikan Keagamaan ialah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Selanjutnya kajian mengenai perilaku sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial. Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1) Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu, (2) Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan (3) Ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion). Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu : 1. Ascendance-Social Timidity, Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal. 2. Dominace-Submissive Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain. 3. Social Initiative-Social Passivity Social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh. 4. Independent-Depence Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau. Di sisi lain diuraikan Parwitaningsih, (2006) di semua masyarakat pasti ada perilaku individu yang berjalan di luar jalur dari norma yang telah ditetapkan. Norma hanya menyatakan kepada individu apa yang harus dan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi norma tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dilakukan oleh manusia. Sehingga perilaku yang kita anggap benar sering kali bertentangan dengan perilaku yang diterima oleh masyarakat. Jelasnya bahwa kehidupan sosial ditandai tidak hanya dengan adanya kepatuhan atau konformitas tetapi juga ditandai dengan adanya penyimpangan. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang dianggap oleh sebagian besar orang sebagai sesuatu yang berada di luar batas toleransi. Apabila orang-orang dengan perilaku menyimpang tersebut dibiarkan saja terus berlangsung maka keberlangsungan suatu kelompok , organisasi bahkan masyarakat akan terancam. Dengan penerapan teknik-teknik kontrol sosial serta difungsikannya secara maksimal baik itu kontrol sosial internal maupun eksternal maka individu dapat berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dari beberapa kajian di atas yang mengkaji makna dan kehidupan Waria menunjukkan Waria memiliki eksistensi sebagai manusia dan juga tentunya sebagai manusia yang memiliki agama. Oleh karena itu penelitian ini memberikan warna tersendiri untuk mengungkapkan perilaku keagamaan dan kegiatan keagamaan kaum Waria yang menjadi sorotan masyarakat. G. Metode Penelitian Dalam sebuah penelitian diperlukan metode atau pendekatan untuk melakukan penelitian terhadap fenomena yang ada di lapangan dan prosedur pelaksanan suatu penelitian haruslah didasari dengan metode penelitian yang ilmiah agar hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 1. Jenis Penelitian Karena tujuan penelitian ini adalah untuk memandang dan mengetahui suatu keadaan dan informasi secara keseluruhan dalam perilaku keagamaan para waria dan argumentasi kelompok yaitu para waria yang tinggal di kota Pontianak yang tergabung dalam Persatuan Waria Kota Pontianak (PERWAPON), maka pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana ciri dari pendekatan kualitatif adalah mengutamakan makna (meaning), melihat sesuatu dari konteksnya yang diperoleh dari wawancara, diperlukan teori untuk memperluas wawasan untuk membantu menginterprestasikan hasil penelitian, menemukan sesuatu bukan untuk memverifikasi. (Uray Husna, 2004: 53) Bogdan dan Taylor (Moleong, 2004 : 4) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Alasan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena permasalahan yang akan dibahas tidak berkenaan dengan angka-angka tetapi mendeskripsikan secara jelas dan terperinci serta memperoleh data yang mendalam dari fokus penelitian. Penelitian kualitatif selalu berusaha mengungkap suatu masalah, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya. Hasil penelitian diarahkan dan ditekankan pada upaya memberi gambaran seobyektif dan sedetail mungkin tentang keadaan yang sebenarnya dari obyek studi. Pertanyaan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, karena apa yang diharapkan melalui pertanyaan deskriptif adalah gambaran tentang populasi mengenai sesuatu (Harun Rasyid, 2000: 79). Ini menandakan jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai perilaku keagamaan atau kejadian-kejadian pada program kegiatan keagamaan Waria di kota Pontianak. 2. Subjek Penelitian Berdasarkan ruang lingkup penelitian di atas, maka yang menjadi subjek penelitian ini adalah para Waria di kota Pontianak yang tergabung dalam Persatuan Waria Kota Pontianak (PERWAPON) yang terlibat secara langsung dalam kegiatan keagamaan yaitu pengajian rutin dan kegiatan sosial dimasyarakat. Para waria tersebut merupakan sumber informasi atau kunci utama, dari mereka peneliti berharap mendapatkan informasi terhadap kegiatan dan perilaku keagamaan Waria di kota Pontianak. Untuk melengkapi dari pertanyaan penelitian, peneliti juga berkomunikasi langsung dengan penngurus Persatuan Waria Kota Pontianak (PERWAPON) untuk memperoleh informasi tentang kegiatan keagamaan dan sosial Waria secara sistematis. Kemudian untuk mendukung data yang diperoleh adalah dokumen dari PERWAPON yang berupa bahan tertulis, arsip dan foto-foto mengenai kegiatan Waria. 3. Teknik dan Alat Pengumpul Data Dalam pemilihan teknik penelitian pada dasarnya disesuaikan dengan fokus dan situasi serta jadwal waktu yang ditetapkan, karena melihat berbagai pertimbangan di antaranya lebih mudah mengadakan penyesuaian apabila berhadapan dengan kenyataan dalam masa melakukan observasi di setiap kegiatan, dan dapat berhubunngan langsung dengan responden yaitu Waria di kota Pontianak dan lebih bersifat peka terhadap pola nilai yang ada pada Waria. Sedangkan alat pengumpul data pada penelitian ini : a. Observasi Kartono (1996 : 157) mengatakan bahwa observasi merupakan studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Metode observasi ini digunakan untuk mengamati penampilan dan perilaku subyek yang meliputi ciri fisik, sifat, penampilan dan pembawaan juga perilaku ketika wawancara. Observasi ini menggunakan pedoman observasi yang berisi sebuah daftar pertanyaan dan jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Dalam penelitian peneliti mengadakan pengamatan terhadap obyek penelitian secara langsung. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipan. Hal-hal yang diobservasi adalah mengenai perilaku Waria juga kondisi umum lainnya seperti kondisi ekonomi, ciri-ciri fisik waria. Hubungan subyek dengan keluarga, teman dan masyarakat dan kegiatan subyek di rumah. Observasi yang dilakukan peneliti yaitu melihat keadaan tempat tinggal subyek, hubungan subyek dengan lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan. Observasi dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti sesudah melaksanakan wawancara. b. Wawancara mendalam Wawancara adalah percakapan dengan bertatap muka dengan tujuan untuk memperoleh informasi aktual, untuk menilai dan menarik kesimpulan kepribadian individu, untuk tujuan konseling atau penyuluhan dan tujuan terapeutis. Dalam proses wawancara ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengejar informasi atau yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi informasi atau yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan tersebut (Kartono, 1996 : 187). Sebelum wawancara dilakukan peneliti membuat instrumen wawancara dengan tujuan agar wawancara yang dilakukan terarah dan mendapatkan informasi yang runtut dan akurat. Peneliti saat akan melaksanakan wawancara terlebih dahulu penentuan waktu yang harus disesuaikan dengan kegiatan subyek penelitian. Subyek penelitian adalah orang-orang yang sangat sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan kewariaan, sehingga sebelum mengadakan wawancara peneliti menghubungi subyek terlebih dahulu untuk memastikan kapan subyek memiliki waktu luang untuk diwawancarai. 4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan pada saat mengumpulkan data dan setelah pengumpulan data. Analisa dilakukan agar peneliti segera menyusun untuk melengkapinya selanjutnya diharapkan dari analisis awal diperoleh kesimpulan sementara : Analisis data dalam penelitian ini, dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut : a. Reduksi data Pada tahap ini peneliti melakukan pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dari hasil wawancara, abstraksi dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan, kemudian memilih data yang relevan dan kurang relevan dengan tujuan penelitian. b. Penyajian data Setelah data-data itu terkumpul kemudian peneliti menyajikan data-data yang sudah dikelompokkan tadi dengan penyajian dalam bentuk narasi dengan tujuan atau harapan setiap data tidak lepas dari kondisi permasalahan yang ada dan peneliti bisa lebih mudah dalam melakukan pengambilan kesimpulan. c. Menarik kesimpulan Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam hasil penelitian ini, maka analisis dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan jalan membandingkan data yang diperoleh. Dalam penelitian ini data-data yang sudah didapatkan sebelumnya, kemudian peneliti bandingkan dengan data-data hasil wawancara dengan subyek dan informan yang bertujuan untuk menarik kesimpulan. H. Daftar Pustaka Bastaman, T. K dkk. 2004. Leksikon Istilah Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: Buku Kedokteran EGD. Berry, D. 2003. Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi. Diterjemahkan oleh Paulus Wirutomo. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Calhoun, J.F dan Accocella, J.R. 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi III. Diterjemahkan oleh Satmoko. Semarang: IKIP Semarang Press. Crooks, R. 1983. Our Sexuality. California: The Benjamin/ Cummings Publishing Company. Harton, P.B. 1987. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Hendropuspito, D. 1983, ”Sosiologi Agama”, Jakarta: Kanisius Http://alrasikh.wordpress.com/category/lembar-jumat. 10 Desember 2009 Http://wikan2004.multiply.com/jurnal/item/1/Ringkasan_Antropologi. 10 Desember 2009 Husna, Uray A. 2004. Penulisan Karya Ilmiah. Pontianak: Fahruna Bahagia Jawapos.com, 08/06/2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perum Balai Pustaka Kartono, K. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju. Koeswinarno. 2005. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: Kanisius. Krech et.al.1962. Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakasha. Maslim, R. 2002. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta Moleong, L.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muthi`ah, Dewi. 2007. Konsep Diri dan Latar Belakang Kehidupan Waria (Studi Kasus Terhadap Waria di Kota Semarang Tahun 2007). Skripsi Universitas Negeri Malang Nadia, Z. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Yogyakarta: Galang Press. Parwitaningsih, Dra. 2006. Perilaku Sosial dan Kontrol Sosial. Ebook: ISIP4110/MODUL 6 Pudjiyogyanti, C. R. 1985. Konsep Diri dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penelitian Unika Atma Jaya. Puspitosari, H dan Pujileksono, S. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang: Universitas Muhammadiah Malang. Rasyid, Harun. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Ilmu Sosial dan Agama. Pontianak: STAIN Sue, D. 1986. Understanding Abnormal Behavior. Edisi III. Boston: Hougthon Mifflin Company. Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Jogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Tjahjono, E. 1995. Perilaku-Perilaku Seksual yang Menyimpang. Anima (Indonesia Psychological Journal) Vol XI No. 41. Vembriarto, S.T. 1994. Patologi Sosial. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramitha. |
|
|||||||||
![]() |