Manusia terlahir memiliki fitrah dengan sifat kebaikan, sehingga faktor yang mendorong untuk berbuat maksiat juga merupakan keniscayaan. Manusia yang mampu memilih dan membedakan kedua sifat yang berlawanan tersebut untuk diterapkan sebagai pribadinya akan menjadikan manusia tersebut berprestasi di dunia dan di akhirat. Untuk meraih itu semua dibutuhkan pengenalan pada Sang Pencipta, ridha dengan keadaan diri, sifat keteladanan serta semangat untuk mulai menata hati, hingga akhirnya akan mampu membentuk pribadi mulia sebagai seorang Muslim sejati.

Muhammad Rahimi
DAKWAH KEPRIBADIAN
(Suatu Telaah Menuju Pribadi Muslim Berprestasi)
Kata Kunci: Pribadi, hati, teladan, dan prestasi
A. Pendahuluan
“Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikitpun” (QS. Hud: 109).
Seorang manusia mempunyai perasaan ragu yang merupakan fitrah baginya untuk meyakinkan dirinya terhadap apa yang telah diperbuat dan dikatakan, sebab dari keraguan itulah akan timbul rasa keyakin mana yang benar “bagi kita”. Keraguan juga akan menimbulkan sejuta pertanyaan untuk dilontarkan, dari pertanyaan itu akan terjawab segala keraguan dihati. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah mengapa..., kenapa..., bagaimana..., kapan..., dimana..., bahkan sampai pada pertanyaan siapa..., semua menjadi indikator dari keraguan di hati.
Jika biji-biji jagung digenggam dan ditunjukkan pada seekor ayam tanpa membuka genggaman dan seraya berkata “makanlah ini ada biji-biji jagung”, maka yeng terjadi bukan ayam itu mendekat tapi semakin menjauh. Namun jika ditebarkan biji-biji jagung tersebut ke tanah, niscaya ayam itu tanpa dipanggil pun ia akan datang memakan jagung yang sudah ditebarkan. Artinya, ayam juga mempunyai keraguan karena ia tidak melihat dan ia yakin ketika biji-biji jagung telah ditebarkan ke tanah.
Fitrah manusia mempunyai rasa ragu tersebut sebenarnya bukan hanya keraguan panca indra namun juga keraguan di hati, akal, serta kebenaran “semu”. Ketika hanya mempercayai indra maka disanalah letak kematian hati, akal juga sulit menerima kebenaran yang hakiki. Penciptaan alam semesta ini contohnya, mudah bagi kita untuk menerima kebenaran adanya karena sebelumnya kita memiliki keraguan terhadapnya. Keraguan itu terjadi saat kita masih belum mengenal benda-benda yang ada di bumi ini atau ketika berusia balita. Namun ketika sudah mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, maka mudah untuk meyakini keberadaan bumi, karena sudah mengenal seluruh isinya. Begitu juga dengan keyakinan terhadap yang ghaib, kita mampu meyakininya karena sebelumnya kita memiliki keraguan, sehingga Allah mengingatkan manusia dengan al-Qur'an.
Tidak terlepas dari keraguan manusia itu sendiri, sampai-sampai al-Qur'an pun diragukan, kemudian Allah Swt meyakinkan manusia dengan firman-Nya:
“Tidaklah mungkin al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam” (QS. Yunus: 37).
Berdasarkan ayat tersebut kita yakin kita bahwa dengan al-Qur'an hidup kita akan lebih terarah dan mengurangi keraguan. Berlarut-larut tenggelam dalam keraguan bukanlah sifat dan sikap pribadi seorang muslim. Seorang muslim harus memiliki sikap optimis dan cepat melakukan perubahan dalam menghadapi segala situasi dalam hidupnya. Manusia diciptakan Allah berbeda dengan makhluk yang lain. Salah satu yang membedakan manusia tersebut adalah manusia memiliki perasaan. Perasaan merupakan unsur yang paling terhalus dalam jiwa. Senang, sedih, bahagia, duka, cinta, benci serta takut, berani hanya merupakan sebagian kecil dari rasa yang kita miliki. Terlepas dari itu semua dalam tinjauan Islam (maksudnya dalam perspektif Tasawuf) merupakan penyakit batin jika perasaan negatif yang menghinggapi kejiwaan kita. Jika demikian hendaknya selalu membentengi diri dari penyakit batin tersebut, karena hal tersebut akan nampak pada kepribadian sebagai seorang manusia umumnya dan sebagai seorang muslim khususnya.
Upaya menghilangkan penyakit batin yang bernama rasa takut yang harus digunakan adalah pikiran bukan perasaan. Sepatutnya yang harus dicari adalah apa yang ditakutkan, apa penyebabnya dan mengapa harus takut? Semua pertanyaan itu harus dijawab dengan jujur. Dalam pandangan Islam, penderitaan pada dasarnya dimungkinkan oleh dua sebab, yaitu sebagai ujian dari Allah Swt atau merupakan bala` sebagai siksa dari Allah, (Sujarwa, 1999: 72).
Allah berfirman:
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Ada beberapa hal yang yang harus diperhatikan oleh setiap muslim dalam menggapai prestasi membentuk diri yang harmonis dengan jiwa dan sang Khaliq, di antaranya:
B. Mengenal pencipta
Mustahil akan ada sesuatu jika tidak ada yang menciptakan. Kursi ada karena tukang kayu yang membuatnya. Begitu juga alam semesta serta diri ini pasti ada yang menciptakannya. Selain menciptakan alam semesta dengan segala isinya, Allah juga merupakan penjaga keberadaan semua itu. Tanpa penjaga, langit dan bumi akan hancur luluh. Kalau terjadi maka tidak akan ada lagi tangan atau kekuatan yang mampu menahannya dari keruntuhan, (Maachasin, 1996: 76). Selain itu, Allah pun sendiri di dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sekutu yanng mempunyai kekuasaan yang sama dengan kekuasaan-Nya apalagi melebihinya, (Maachasin, 1996: 77). Maka sudah sewajarnyalah kalau Dia mengetahui segala hal yang terjadi di alam semesta ini, (Maachasin, 1996: 85). Allah berfirman: “Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas singgasana. Dia mengetahui apa yang masuk dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya, serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dia bersamamu dimana saja kamu berada. Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hadid: 4). Oleh karena itu, Allah selalu bersama kita, mengapa kita tidak mengenal dekat dengan yang menyertai kita, padahal kita akan selalu bersama-Nya hingga akhir hayat. Maka telah menjadi kewajiban kita mengenal siapa yang menciptakan kita. Dalam istilah Tasawuf ini dikenal dengan makrifat.
Mahyudin (2001: 116-117) mengutip pendapat Dr. Mustafa Zahri mengenai makrifah dalam pandangan ulama tasawuf “al-Ma`rifah jazm al-qalbi bi wujûdi al-wajibi al-maujûdi muttashifan bi sâiri al-kamâlâti” Makrifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang memiliki segala kesempurnaan kesempurnaan. Sedangkan Imam al-Qusyairi mengatakan “makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkatkan makrifatnya, meningkat pula ketenangan (hatinya)”.
Dengan demikian, jelas bahwa salah satu unsur peningkatan karakter diri menjadi yang terbaik adalah dengan mengenal sang Pencipta yaitu Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang selalu dekat dengan kita.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat.” (QS. Al-Baqarah: 186).
C. Ridho dengan keadaan diri
Kadang sulit menerima sesuatu yang diluar apa yang kita inginkan, namun mudah kita menerima bahkan berbahagia sampai lupa daratan jika sesuai dengan kemauan kita. Tidak salah jika kita mulai menerima ketentuan Allah, mulai dari hal yang paling kecil, seperti keadaan diri yang “relatif” dilihat berbeda bahkan jelek dengan orang lain. Dari usaha tersebutlah kita dapat memulai menerima takdir yang telah ditentukan Allah. Pilar-pilar iman di antaranya adalah beriman pada takdir, serta menjadi syarat manusia dikatakan `Muslim`. Seorang muslim menyadari bahwa dirinya bukanlah makhluk yang dibiarkan begitu saja, `tanpa pengaturan`, Allah Berfirman:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Dia-lah yang menguasai hal ihwal hamba-hamba-Nya, tidak ada sesuatu keuntungan dan kerugian kecuali dengan kehendak-Nya.
Seorang muslim percaya bahwa takdir Allah meliputi segala aktivitas manusia dan kejadian-kejadian yang ada serinci-rincinya. Kesehatan, sakit, kesedihan, kekayaan, kemiskinan, kenikmatan, musibah, kesenangan, umur, datang kematian dan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, semua itu terjadi karena takdir yang meliputi alam ini. Seorang muslim akan menerima kenyataan hidup ini dengan penuh kerelaan, dengan penuh kesadaran yang merupakan takdir dari yang telah dikerjakan, (Jami`an, 2003: 22-25). Firman Allah: “Katakanlah: Tidak akan menimpa kami, selain dari apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami, Dia-lah pelindung kami, dan hendaklah orang-orang yang beriman itu mempercayakan dirinya pada Allah”. (QS. At-Taubah: 51). Sebagaimana kasus yang menimpa Imam Ahmad bin Hambal yang menentang Mu`tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk, sehingga beliau dicambuk oleh khalifah Ma`mun yang dipengaruhi mu`tazilah. Ahmad bin Hambal menghadapi siksaan tersebut dengan keikhlasan seraya berkata: "Pada cambukan pertama beliau jawab dengan bismillahirrahmanirrahim. Cambukan kedua dijawab lâ haula walâ quwwata illaa bi Allah. Cambukan ketiga, beliau katakan al-Qur'an adalah firman Allah bukan makhluk. Cambukan keempat beliau jawab dengan mengucapkan qul lan yushibana illâ mâ kataba Allâhu lana (Katakanlah, tidak akan bisa menimpa kita kecuali kita memang telah ditetapkan Allah, (Kauma, 1999: 27).
Sabar adalah merupakan kunci pribadi beliau yang mulia. Namun sabar menghadapi penderitaan, tidak boleh diartikan sebagai menyerah kepada nasib, (Jami`an, 2003: 165). Karena hidup haruslah penuh dengan perjuangan, sebab perjuangan dan doa mampu merubah takdir karena perjuangan adalah bagian dari doa dan Allah akan mengabulkannya, (Jami`an, 2003: h. sampul). Tidak ada yang membuat keraguan bagi setiap muslim bahwa doa juga sangat bermanfaat serta berperan penting dalam upaya meraih keberuntunngan. baik yang berkaitan dengan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, (Jami`an, 2003: 153).
Memulai perjuangan dengan doa sangat penting agar menjadi pendorong kekuatan yang ditransfer batin untuk tenaga jasmani. Ketika Ibrahim bin Adham ditanya: “Mengapa kita sering berdoa tetapi tidak dikabulkan? Jawab beliau: “Karena hatimu telah mati. Mengapa? Jawab beliau lagi: “Penyebabnya, 1) kamu mengaku mengenal Allah tetapi tidak ikut perintahnya, 2) Kamu bisa baca al-Qur'an tapi tidak mengamalkannya, 3) Kamu mengaku cinta Rasul tapi tidak melaksanakan sunah dan bersholawat, 4) Kamu mengaku takut mati tapi tidak bersiap, 5) Kamu mengaku benci syaitan tapi bermaksiat, 6) Kamu mengaku takut neraka tapi berbuat dosa, 7) Kamu mengaku cinta syurga tapi tidak beramal,
Kamu mengaku cinta orang lain tapi membuka aibnya, (Az Zubari, 2002: 111-112).
Doa mempunyai peranan penting dalam rangka meningkatkan kepribadian diri, karena doa adalah kekuatan internal dari dalam diri yang mampu menghantarkan kemuliaan sikap. Segala keadaan kita tidak terlepas dari rasa “ketergantungan” pada kekuatan Ilahi, tanpa mengabaikan kekuatan jasmani. Sebagaimana firman Allah:
“... Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186).
D. Keteladanan
Dalam kehidupan sehari-hari disadari ataupun tidak, kita sering meniru perilaku seseorang, karena memang manusia tidak terlepas dari kehidupan sosialnya. Ketika dalam keadaan demikian, maka yang terpenting adalah perilaku apa dan siapa yang ditiru tersebut. Jika perilaku tersebut dapat menghantarkan kita lebih dekat dengan Sang Khalik maka perlu diiru. Pujangga Arab mengatakan “unzhur mâ qâla walâ tanzhur man qâla” (lihatlah apa yang dikatakannya dan jangan lihat siapa yang mengatakannya). Artinya, perkataan atau perilaku yang dicontohkan itu walaupun datangnya dari seorang budak sekalipun jika baik maka kita berkeharusan mencontohnya atau mengamalkannya.
Dalam meneladani perilaku orang-orang saleh, yang terpenting adalah tidak “overestimate”, yang dimuliakan adalah prilaku atau akhlaknya bukan dirinya. Jika mengagungkan orang yang melakukannya akan menghantarkan pada dosa, sebab yang patut dimulikan dan diagungkan hanya Allah `Azza wa jalla dengan segala kekuasaan-Nya.
Sebelum memulai meneladani prilaku muslihan ada yang patut diperhatikan, yaitu mulailah bertanya siapakah aku?
1. Kita adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan segala kesetaraan dengan manusia lainnya, sehingga tidak memiliki alasan untuk tidak mampu jika orang lain mampu.
2. Kita adalah khalifah di muka bumi, sehingga kita harus lebih mulia dari makhluk yang lain. Sama saja tidak boleh apa lagi lebih rendah perilakunya. “Dan telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan” (QS. Al-Isra`: 70 ).
3. Menyadari kecerdasan yang dimiliki, kecerdasan manusia terekam di dalam kode genetic dan seluruh sejarah evolusi kehidupan di bumi, di samping itu kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari, kesehatan fisik dan mental, porsi latihan yang diterima, ragam hubungan yang dijalin dan berbagai faktor lain, (Amin, 2003: 13-15).
E. Mulai menata hati
“Dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, namun jika ia jelek maka jelek pula seluruh jasadnya, itulah yang dinamakan hati” (HR. Bukhari dari an-Nu'man ibn Basyir). Dalam artian hati adalah pusat segala gerakan jasad yang dimiliki manusia. Hati adalah masjid yang ditempatkan Tuhan di dalam diri setiap manusia, sebuah masjid untuk menampung percikan Ilahi di dalam diri manusia. Ketika mata hati terbuka, seseorang dapat melihat kenyataan sesungguhnya yang tersembunyi di balik penampakan lahiriah. Ketika telinga hati terbuka, seseorang mampu mendengar kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata yang tertancap. Melalui hati yang terbuka, sistem saraf dapat menyesuaikan diri dengan sistem saraf orang lain sehingga mengetahui apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka akan bersikap, (Frager. 2002: 79). Seorang sufi berkata: “Jika kata-kata keluar dari hati, ia akan masuk ke dalam hati, namun jika kata-kata keluar dari lisan, ia tidak akan mampu melampaui batas pendengaran” (Frager. 2002: 305).
Allah memberikan kebebasan dalam menata hati asal mampu mempertanggung jawabkannya. Termasuk dalam berimajinasi untuk menentukan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak ada hukum agama atau negara yang mampu memaksakan otoritasnya untuk menuntut atau menghukum kebebasan imajinasi, kecuali “pengadilan moral” (Amin, 2003: 37). Tanpa pengendalian dan kesadaran etika, sensor hayalan tubuhlah yang membengkak. Sedangkan film terus berjalan dengan seribu kaki untuk membangun atau meruntuhkan premis–premis keagamaan(Amin, 2003: 45). Dengan kata lain hati mampu menghancurkan segala sendi kehidupan jika tanpa penataan yang baik.
Orang-orang sufi lebih takut hatinya mati daripada jasadnya yang mati, mereka nyatakan hal itu dalam syairnya “Ketika engkau menangis di saat kelahiranmu, orang-orang di sekelilingmu justru tertawa gembira maka pastikan dirimu tertawa gembira ketika mereka menangis di saat kematianmu”. Ada empat jenis kematian pada diri manusia yaitu:
1. Kematian Bashirah (mati hati/akal budi), yang menjadikan hatinya tertutup untuk menerima sebuah kebenaran (al-Qur'an/wahyu), jika disampaikan tentang firnam Allah maka mereka mengatakan “aku sudah tahu”, namun tak sedikitpun mereka mengerjakannya.
2. Kematian Iradah (mati kehendak/kemauan), yang membuat ghirah dalam menegakkan agama Allah menjadi pupus dikala nuraninya berontak melawan hawa nafsu.
3. Kematian `Azimah (mati tekad/kebulatan hati), yang menjadikan pribadi seperti seorang munafik. Keistiqamahan dalam ibadah menjadi hilang karena hatinya masih dalam keadaan bimbang, (Abu Ridho. 2002: 190-191).
4. Kematian Jasadi (hilangnya ruh dari jasad), yang menjadikan putus seluruh amal di dunia.
Dalam usaha penataan hati, ada yang perlu diperhatikan yaitu selalu “tafakur”. Tafakur adalah ibadah merdeka dan bebas dari illat apapun, kecuali Allah Swt, (Badri, 2001: 117). Kewajiban hati meliputi:
1. Beriman kepada Allah dan agamanya
2. Beriman kepada Rasul dan ajarannya
3. Yakin (tuma`ninah)
4. Ikhlash dalam setiap perbuatan, ucapan dan tindakan
5. menyesali perbuatan maksiat, besar maupun kecil
6. Bertawakkal kepada Allah
7. Muraqabah kepada Allah
8. Ridho terhadap Allah
9. Baik sangka kepada Allah dan makhluk-Nya
10. Memuliakan tanda keagungan Allah (al-Qur'an)
11. Mensyukuri nikmat Allah
12. Sabar melaksanakan segala perkara
13. Percaya terhadap rezeki dari Allah
14. Membenci Syaitan
15. Membenci dunia
16. Membenci maksiat
17. Mencintai Allah Swt, (Abdullah, 2003: 124-139).
Demi Allah, sekiranya aku tahu bahwa singa akan menerkam, memakanku di kota ini, sesungguhnya aku akan tetap malaksanakan pemberangkatan pasukan Usamah; dan aku tidak sekali-kali akan merombak urusan yang telah selesai dipersiapkan oleh Rasulullah dan sekali-kali tidak akan menimpa kita kecuali apa yang telah ditentukan Tuhan juga pada kita, (Firdaus, 2001: 89).
F. Penutup
Akhirnya dengan langkah bertaubat kepada Allah Swt menjadi jalan menghentikan perbuatan dosa-dosa dan menyesali dengan tekad yang bulat untuk tidak mengulangi dosa-dosa, karena taubat adalah jalan menuju keselamatan serta menuju ke jalan yang benar untuk berhenti dari dosa dan kembali pada Allah, (Athaillaah, 2007: 71).
Daftar Pustaka
Abdullah. 2003. Islam Sumber Pertolongan Ilahi Penjernihan Akidah, Ibadah dan Akhlak. Bandung: CV. Pustaka Setia
Abu Ridho. 2002. Berhenti Sejenak: Recik-Recik Spiritualitas Islam. Bandung: Syaril Cipta Media
Amir Said az-Zubari. 2002. Manajemen Qalbu. Yogyakarta : Mitra Pustaka
Arifin Jami`an. 2003. Memahami Takdir. Surabaya: Putra Pelajar
C. Ramli Bihar Anwar. 2002. Tasawuf Tanpa Tarekat. Jakarta : Iman dan Hikmah
Firdaus AN. 2001. Detik-detik Terakhir Kehidupan Rasulullah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Fuad Kauma. 1999. Perjalanan Spiritual Empat Imam Mazhab. Jakarta : Kalam Mulia
Ibnu Athailah. 2007. Pembersihan Jiwa: Langkah-Langkah Mempertajam Mata Hati dalam Melihat Allah. Surabaya: Putra Pelajar
Machasin. 1996. Menyelami Kebebasan Manusia : Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur'an.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Mahyudin. 2001. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jakara : Kalam Mulia
Malik Badri. 2001. Dari Perenungan Menuju Kesadaran “Sebuah Pendekatan Psikologi Islam. Solo: Eka Intermedia
M. Rusli Amin. 2003. Kiat-Kiat Sukses “Sebuah Pendekatan Qur-ani Untuk Membangun Kualitas Diri dan Kehidupan”. Jakarta: Al-Mawardi Prima
Robert Frager. 2002. Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Diri dan Jiwa. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Sujarwa. 1999. Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Penulis
Lahir di Mempawah. Sarjana Dakwah Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam STAIN Pontianak. Selain mengabdi pada Prodi Bimbingan Penyuluhan Islam, juga menjadi asisten mata kuliah Tasawuf di STAIN Pontianak, dan sekretaris umum Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) periode 2004-2005 dan 2005-2006. Pernah menulis penelitian yang berjudul ”Asbal dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Kota Pontianak (2005)” dalam bentuk Skripsi yang juga dalam jurnal khatulistiwa (2007) dengan judul yang sama.